Tinjauan Filsafat tentang Hakikat
Pendidikan Informal dan Nonformal
Mata Kuliah Filsafat Pendidikan
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2012/2013
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Filsafat adalah studi tentang
seluruh fenomena kehidupan dan pemikiran manusia secara kritis dan dijabarkan
dalam konsep mendasar. Filsafat tidak didalami dengan melakukan
eksperimen-eksperimen dan percobaan-percobaan, tetapi dengan mengutarakan
masalah secara persis, mencari solusi untuk itu, memberikan argumentasi dan
alasan yang tepat untuk solusi tertentu. Akhir dari proses-proses itu
dimasukkan ke dalam sebuah proses dialektika.
Untuk studi falsafi, mutlak diperlukan logika berpikir dan logika bahasa.
Memasuki
era industrialisasi dan global dengan perkembangan teknologi canggih dan arus
komunikasi yang deras, diperlukan penyesuaian diri dengan cepat tanggap.
Tantangan ini harus dihadapi dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia
melalui pendidikan. Khusus di lingkungan industri, perkembangan ilmu dan tenologi
secara dinamis dan cepat sehingga pendidikan cenderung meningkatkan
produktivitas. Peningkatan keahlian dan ketrampilan merupakan alat penting
dalam perkembangan industri. Untuk memeperkenalkan produk baru, banyak yang
harus dipelajari, mulai cara kerja sampai penerapannya pada kondisi lingkungan.
Tenaga kerja industri pun harus mampu menyesuaikan diri dan menyerap informasi
baru dengan cepat serta menerapkanya secara efektif dalam proses produksi.
Kondisi pendidikan luar sekolah di
masyarakat pun mengalami perkembangan pesat, baik melayani kebutuhan masyarakat
untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman, melayani anggota masyarakat dalam mengisi waktu senggang
maupun melayani penyaluran hobi dan melayani peningkatan ketrampilan.
Pendidikan luar sekolah merupakan sudut pandang dunia pendidikan yang dapat
dijadikan terobosan untuk untuk memecahkan masalah keresahan manusia yang
mendesak. Khususnya bagi bangsa yang menghadapi masalah kemiskinan,
pengangguran, anggota masyarakat yang tidak sekolah dan yang putus sekolah
serta menyiapkan tenaga kerja produktif. Pendidikan luar sekolah merupakan
salah satu penemuan paling menentukan salah satu penemuan paling menentukan
pada abad ini yang lebih hebat daripada pendidikan sekolah (Ruwiyanto W.,
1994).[1]
A.
Rumusan
Masalah
1. Bagaimana konsep pendidikan non formal dan informal?
2. Bagaimana perbedaan sistem pendidikan non formal dan
informal?
3. Bagaimanakah
sistematika filsafat memandang tentang pendidikan?
4. Bagaimanakah
hakekat pendidikan menurut beberapa filsuf?
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pendidikan
Non Formal
Pendidikan non formal menurut Philip H. Choombs ialah
pendidikan luar sekolah yang dilembagakan dan istilah ini yang digunakan dalam
UU Sistem Pendidikan Nasional Republik Indonesia No. 2 tahun 1989 tentang
Sistem Pendidikan Nasional pasal 10 ayat 1.
Pendidikan luar sekolah yang dilembagakan (non
formal) adalah semua bentuk pendidikan yang diselenggarakan dengan sengaja,
tertib, terarah, dan berencana di luar kegiatan persekolahan. Dalam hal ini,
tenaga, pengajar, fasilitas, cara penyampaian, dan waktu yang dipakai serta
komponen-komponen lainnya disesuaikan dengan keadaan peserta atau peserta didik
supaya mendapatkan hasil yang memuaskan.
Bagi masyarakat Indonesia yang dipengaruhi sistem
pendidikan tradisional, cara seperti ini lebih mudah dalam daya tangkap
masyarakat dan mendorong rakyat untuk belajar karena keadaan ini sesuai dengan
keadaan lingkungan.
Pendidikan luar sekolah yang dilembagakan bersifat
fungsional dan praktis serta pendekatannya lebih fleksibel. Calon peserta didik
(raw-input) pendidikan luar sekolah dilembagakan yaitu:
a.
Penduduk
usia sekolah yang tidak pernah mendapat keuntungan/kesempatan memasuki sekolah.
b.
Orang dewasa yang tidak pernah bersekolah.
c.
Peserta didik yang putus sekolah (drop out),
baik dari pendidikan dasar, menengah, dan pendidikan tinggi.
d.
Peserta didik yang telah lulus satu sistem
pendidikan sekolah tetapi tidak melanjutkan ke tingkat yang lebih tinggi.
e.
Orang yang telah bekerja, tetapi ingin menambah keterampilan
lain.
Di samping pendidikan yang fleksibel, hendaknya dapat
pula digunakan pendekatan yang luas dan terintegrasi agar siapa saja dapat
belajar lebih lanjut berdasarkan keterampilan pertama yang telah mereka
peroleh. Serta mengisi segala kekurangan
yang menghambat usaha mereka ke arah hidup yang lebih baik. Dengan kata lain,
pendidikan luar sekolah yang dilembagakan dapat memperkuat pendidikan luar
sekolah yang tidak dilembagakan.
Jadi,
proses belajar terjadi secara terorgnisasikandi luar sistem persekolahan atau
pendidikan formal, baik dilaksanakan terpisah maupun merupakan bagian penting
dari suatu kegiatan yang lebih besar yang dimaksudkan untuk melayani sasaran
didik tertentu dan belajarnya tertentu pula.[2]
Pendidikan
non formal pada umumnya dilaksanakan tidak dalam lingkungan fisik sekolah. Maka
dari itu dapat diidentikkan dengan pendidikan luar sekolah.
Sasaran pokok pendidikan non formal adalah anggota
masyarakat. Program-programnya dibuat sedemikian rupa agar bersifat luwes
tetapi lugas dan tetap menarik minat para konsumen pendidikan.
Berdasarkan penelitian di lapangan, pendidikan non
formal sangat dibutuhkan oleh anggota masyarakat yang belum sempat mendapat
kesempatan untuk mengikuti pendidikan formal karena sudah lewat umur atau
terpaksa putus sekolah karena suatu hal.
Tujuan terpenting dari pendidikan non formal adalah
program-program yang ditawarkan kepada masyarakat harus sejalan dengan
program-program pembangunan yang dibutuhkan oleh masyarakat banyak.
Kontrol
dapat diartikan bahwa manusia itu adalah makhluk hidup yang menundukkan dan
mengontrol energi alam buat melanjutkan aktivitasnya. Hidup itu bagi makhluk
hidup adalah proses pembaruan diri sendiri melalui tindakannyamenegendalikan
lingkungannya.[3]
Pendidikan non formal juga berarti suatu kegiatan
pendidikan di luar keluarga dan di luar sekolah yang kegiatan-kegiatannya
ditujukan kepada :
1.
Anak-anak yang belum pernah sekolah.
2.
Anak-anak yang meninggalkan pendidikan SD/ SLTP
dan tidak meneruskan sekolah lagi (di bawah umur 18 tahun).
3.
Orang-orang dewasa (adult education)
4.
Anak-anak di bawah umur 18 tahun yang memerlukan
re-edukasi.
5.
Orang-orang dewasa yang memerlukan re-edukasi.
6.
Masyarakat sebagai satu lingkungan budaya
(comunity education).
Macam-macam pendidikan itu dapat dikelompokkan
sebagai program kegiatan pendidikan luar sekolah yang terorganisir yaitu :
1.
Pendidikan masyarakat adalah pendidikan yang
ditujukan kepada orang dewasa, termasuk pemuda di luar batas umur tertinggi
kewajiban belajar, dan dilakukan di luar lingkungan dan sistem pengajaran
sekolah biasa.
2.
Pendidikan kemasyarakatan adalah konfirmasi
antara kedewasaan yang diwakili pendidik dan sebelum dewasaan yang diwakili oleh anak didik yang berdiri sendiri.
Atau dikatakan sebagai pendidikan yang meliputi bagian pendidikan yang
mempersiapkan anak-anak untuk tugasnya sebagai penghasil dan sebagai pemakai.
3.
Pendidikan rakyat adalah tindakan-tindakan
pendidikan atau pengaruh yang kadang-kadang mengenai seluruh rakyat, tetapi
biasanya khusus mengenai rakyat lapisan bawah.
4.
Mass Education adalah pendidikan yang diberikan
ke orang dewasa di luar sekolah, yang bertujuan memberikan kecakapan baca tulis
dan pengetahuan umum untuk dapat mengikuti perkembangan dan kebutuhan hidup
sekelilingnya. Dalam hal ini termasuk pula latihan-latihan untuk mendidik calon
pemimpin yang akan mempelopori pelaksanaan usahanya di dalam masyarakat.
5.
Adult education (pendidikan orang dewasa) adalah
usaha atau kegiatan yang pada umumnya dilakukan dengan kemauan sendiri (bukan
dipaksa dari atas) oleh orang dewasa, termasuk pemuda di luar batas tertinggi
masa kewajiban belajar dan dilangsungkan di luar lingkungan sekolah biasa.
6.
Extention education adalah kegiatan pendidikan
yang dilaksanakan di luar lingkungan sekolah biasa, diselenggarakan oleh
perguruan-perguruan tinggi untuk mengimbangi hasrat masyarakat yang ingin
menjadi peserta aktif dalam pergolakan jaman.
7.
Fundamental education adalah menolong masyarakat
untuk mencapai kemajuan sosial ekonomi agar dengan demikian mereka dapat
menduduki tempat yang layak dalam dunia modern.
Adapun syarat-syarat
pendidikan Non Formal.
a. Penidikan
non formal harus jelas tujuannya.
b. Ditinjau
dari segi masyrakat, program pendidikan non formal harus menarik (appealing)
baik hasil yang akan dicapai maupun cara-cara melaksanakannya.
c. Adanya
integrasi pendidikan non formal dengan program-program pembangunan dalam
masyrakat.
d. Organisasi
kesenian, kursus-kursus kesenian, penataran pembinaan kesenian.
e. Kegiatan
lain-lain[4]
Sedangkan perjalanan kegiatan pendidikan non formal
yang dilakukan di luar sekolah dan di luar keluarga itu berbentuk antara lain :
kepanduan (pramuka), perkumpulan-perkumpulan pemuda dan pemudi, perkumpulan
olah raga dan kesenian, perkumpulan-perkumpulan sementara,
perkumpulan-perkumpulan perekonomian, perkumpulan-perkumpulan keagamaan dan
lain sebagainya.
Di kalangan masyarakat, program-program pendidikan
non formal sering dikoordinasikan dan dilaksanakan oleh dinas pendidikan
masyarakat, tim penggerak pembinaan kesejahteraan keluarga (tim penggerak PKK),
pada tingkat kelurahan dibina oleh para lurah/ kepala desa. Di luar itu
organisasi-organisasi wanita seperti dharma wanita dalam program bakti sosial
kepada masyarakat acapkali melaksanakan program-program dalam bentuk paket
program pendidikan non formal.
2.
Pendidikan Informal
Pendidikan informal (pendidikan luar sekolah yang
tidak dilembagakan) adalah proses pendidikan yang diperoleh seseorang dari
pengalaman sehari-hari dengan sadar atau tidak sadar. Pada umumnya tidak
teratur dan tidak sistematis sejak seorang lahir sampai mati, seperti dalam
keluarga, tetangga, pekerjaan, hiburan, pasar, atau dalam pergaulan
sehari-hari.
Walaupun demikian, pengaruhnya sangat besar dalam
kehidupan seseorang karena dalam kebanyakan masyarakat pendidikan luar sekolah
yang tidak dilembagakan berperan penting melalui keluarga, masyarakat, dan
pengusaha.
Pendidikan dalam keluarga adalah pendidikan yang
pertama dan utama bagi setiap manusia. Seseorang lebih banyak berada dalam rumah
tangga dibandingkan dengan di tempat-tempat lain. Sampai umur 3 tahun,
seseorang akan selalu berada di rumah tangga. Pada masa itulah diletakkan
dasar-dasar kepribadian seseorang. Dalam hal ini psikiater kalau menemukan
penyimpangan dari kehidupan seseorang akan mencari sebab-sebabnya pada masa
kanak-kanak seseorang itu.
Orang tua
dan pendidik lainnya di lingkungan keluarga tidak boleh jemu untuk menyuruh
anak-anaknya menjalankan perintah atau petunjuk dan menjauhi larangan Allah SWT
sampai mereka menjadi dewasa.[5]
Dalam pada itu, pendidikan informal dapat
menyampaikan berbagai hal yang berhubungan dengan masalah-masalah kehidupan.
Dengan kata lain dalam pendidikan dapat diberikan “ketrampilan, pengetahuan,
sikap, nilai dan cara hidup kita pada umumnyaa”. Yang kesemuanya berkisar pada
“way of life masyarakat”.[6]
Pendidikan informal adalah pendidikan yang diperoleh
seseorang berdasarkan pengalaman dalam hidup sehari-hari dengan sadar atau
tidak sadar, sejak seorang lahir sampai ke liang kubur di dalam lingkungan
keluarga, masyarakat atau dalam lingkungan pekerjaan sehari-hari. Contoh
pengemudi becak. Bagi pengemudi becak, jelas tidak ada pendidikan formalnya.
Jika seseorang pertama kali mencoba mengemudi (mengendalikan becak), ia akan menemui
kesulitan.
Kalaupun ada temannya yang baik hati, ia pun akan
mengatakan lebih kurang cara memegang kemudi begini. Seterusnya sikap calon
pengemudi becak itu akan berjalan sendiri menjalankan becak di satu tanah
lapang atau di jalan yang lengang.
Berdasarkan naluri dan pengalaman yang didapat dari
kegiatan sehari-hari, ia merasakan lebih mantab mengendalikan becak. Atas dasar
ini sebenarnya abang becak tadi telah mendapat pendidikan informal dalam
mengemudikan becak.
Akhirnya
dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan pendidikan dimulai dari persiapan
pendidikan (sebelum anak lahir), kemudian dilakukan pendidikan informal dalam
keluarga (setelah anak lahir) oleh orang tua, pada masanya anak memasuki
pendidikan formal di sekolah dan selebihnya kegiatan pendidikan berjalan di
luar keluarga dan sekolah yaitu dalam masyarakat, sehingga dengan demikian
mengingatkan kita bahwa pada dasarnya manusia itu hendaknya memperoleh
pendidikan selama hidupnya. Inilah yaitu mungkin dikenal dengan asas
baru dalam dunia pendidikan sebagai “Pendidikan Seumur Hidup” (life long
education) yang di negara Canada dikenal dengan “Life Long Learning” dan di
Amerika dikenal dengan “Continuing Education”.
3.
Sistematika
Filsafat
¨ Ontologi : Bidang filsafat yang meneliti hakikat wujud/ada
(on = being/ada; logos = pemikiran/ ilmu/teori).
¨ Epistemologi : Filsafat yang menyelidiki tentang sumber,
syarat serta proses terjadinya pengetahuan (episteme = pengetahuan/knowledge;
logos = ilmu/teori/pemikiran
¨ Aksiologi : Bidang filsafat yang menelaah tentang hakikat
nilai-nilai (axios = value; logos = teori/ilmu/pemikiran)
A.
Ontologi Pendidikan Islam
Kalau kita
membicarakan ilmu hakikat ini sangat luas, apakah hakikat dibalik alam nyata
ini, menyelidiki hakikat dari segala sesuatu dari alam nyata yang terbatas oleh
panca indera kita. Hakikat ialah realitas, realitas ialah ke-real-an, real
yakni kenyataan yang sebenarnya, kenyataan yang sesungguhnya, keadaan
sebenarnya sesuatu, bukanlah keadaan yang sementara atau keadaan yang menipu,
bukan pula keadaan yang berubah dan bukan sesuatu yang fatamorgana. Jadi, ontologi pendidikan adalah menyelami
hakikat dari pendidikan Islam, kenyataan dalam pendidikan Islam dengan segala
pola organisasi yang melingkupinya.
B.
Epistimologi Pendidikan Islam
Epistemologi
yang lebih jelas, diungkapkan oleh Azyumardi Azra bahwa epistemologi sebagai
ilmu yang membahas tentang keaslian, pengertian, struktur, metode, dan
validitas ilmu pengetahuan.
Perlu disadari bahwa selama ini ilmu
pendidikan Islam belumlah didasari dengan epistemologi pendidikan Islam yang
kokoh. Jika pendidikan menjadi penentu kemajuan dan kejayaan peradaban, maka
pendidikan Islam harus diperkokoh dengan pondasi yang kuat. Dan pondasi yang
kuat itu dapat eksis bila didasari oleh epistemologi yang mapan.
Perguruan tinggi Islam adalah pelaksanaan
proses belajar-mengajar yang dapat dikategorikan dalam jenjang pendidikan
tinggi, yang dipraktikkan dalam mayarakat Islam, meskipun masih dalam bentuk
yang non-formal atau informal sebelum kehadiran madrasah.
C.
Aksiologi Pendidikan Islam
Aksiologi mencoba merumuskan suatu teori yang
konsisten untuk perilaku etis. Ia bertanya seperti apa itu baik (what is
good?). Tatkala yang baik teridentifikasi, maka memungkinkan seseorang
untuk berbicara tentang moralitas, yakni memakai kata-kata atau konsep-konsep
semacam “seharusnya” atau “sepatutnya” (ought/should).
Demikianlah aksiologi terdiri
dari analisis tentang kepercayaan, keputusan, dan konsep-konsep moral dalam
rangka menciptakan atau menemukan suatu teori nilai
Pengujian filosofis pendidikan nonformal perlu didasarkan pada faktor2
berikut:
- Hakikat kehidupan yg baik menjadi tujuan pendidikan nonformal. Kehidupan yg baik itu menyangkut norma dan nilai2 kehidupan yg ideal yg harus dapat dicapai oleh manusia melalui pendidikan, khususnya pendidikan nonformal;
- Hakikat masyarakat itu sendiri sehubungan dengan pendidikan nonformal sebagai peroses yang terjadi di tengah-tengah masyarakat luas diluar persekolahan. Masyarakat senantiasa berubah sesuai dengan ruang dan waktu;
Pinsip-prinsip Pendidikan Berbasis Masyarakat: (Michael W. Galbraith)
1.
Self
determination (menentukan sendiri). Semua
anggota masyarakat memiliki hak dan tanggung jawab untuk terlibat dalam
menentukan kebutuhan masyarakat dan mengidentifikasi sumber-sumber masyarakat
yang bisa digunakan untuk merumuskan kebutuhan tersebut.
2.
Self
help (menolong diri
sendiri) Anggota
masyarakat dilayani dengan baik ketika kemampuan mereka untuk menolong
dirimereka sendiri telah didorong dan dikembangkan. Mereka menjadi bagian dari
solusi dan membangun kemandirian lebih baik bukan tergantung karena mereka
beranggapan bahwa tanggung jawab adalah untuk kesejahteraan mereka sendiri.
3.
Leadership
development (pengembangan kepemimpinan) Para pemimpin lokal harus dilatih dalam
berbagai ketrampilan untukmemecahkan masalah, membuat keputusan, dan proses
kelompok sebagai cara untuk menolong diri mereka sendiri secara terus-menerus
dan sebagai upaya mengembangkan masyarakat.
4.
Localization (lokalisasi). Potensi
terbesar untuk tingkatpartisipasi masyarakat tinggi terjadi ketika masyarakat
diberikesempatan dalam pelayanan, program dan kesempatan terlibatdekat dengan
kehidupan tempat masyarakat hidup.
5.
Integrated
delivery of service (keterpaduan pemberian pelayanan)
Adanya hubungan antaragensi di antara masyarakatdan agen-agen yang menjalankan
pelayanan publik dalammemenuhi tujuan dan pelayanan publik yang lebih baik.
6.
Reduce
duplication of service.
Pelayanan Masyarakat seharusnyamemanfaatkan secara penuh sumber-sumber fisik,
keuangan dansumber dava manusia dalam lokalitas mereka dan mengoordinirusaha
mereka tanpa duplikasi pelayanan.
7.
Accept
diversity (menerima
perbedaan) Menghindari pemisahan masyarakat berdasarkan usia, pendapatan,
kelas sosial, jeniskelamin, ras, etnis, agama atau keadaan yang
menghalangipengembangan masyarakat secara menyeluruh. Ini berartipelibatan
warga masyarakat perlu dilakukan seluas mungkin danmereka dosorong/dituntut
untuk aktif dalam pengembangan,perencanaan dan pelaksanaan program pelayanan
dan aktifitas-aktifitas kemasyarakatan.
8.
Institutional
responsiveness (tanggung
jawab kelembagaan) Pelayanan
terhadap kebutuhan masyarakat yang berubah secaraterus-menerus adalah sebuah
kewajiban dari lembaga publiksejak mereka terbentuk untuk melayani masyarakat.
Lembagaharus dapat dengan cepat merespon berbagai perubahan yangterjadi dalam
masyarakat agar manfaat lembaga akan terusdapat dirasakan.
9.
Lifelong
learning (pembelajaran
seumur hidup) Kesempatan pembelajaran formal dan informal harus
tersedia bagi anggota masyarakat untuk semua
umur dalam berbagai jenis latarbelakang masyarakat.
4.
Hakikat Tujuan Pendidikan dengan Tujuan Hidup
menurut beberapa aliran.
Materialisme
sampai saat ini belum memberikan sumbangan berarti bagi pendidikan. Bagi Materialisme, hukum
alam sebagai sesuatu yang penting tidak secara langsung berhubungan dengan
objek dan tujuan pendidikan, tetapi sebagai asumsi. Psikologi behaviorisme yang
berakar pada materialisme memomulerkan teori belajar Conditioning.
Idealisme
memandang nilai rohani sebagai yang terpenting dalam kehidupan manusia. Nilai
spiritual rohani perlu dikembangkan melalui pendidikan. Dengan penekanan pada
pertumbuhan rohani akan dicapai suatu tujuan, yakni kepribadian manusia ideal.
Realisme
skolastik memandang bahwa yang terpenting dalam kehidupan adalah kemuliaan
manusia, bahkan mendekatkan diri dengan Tuhan. Pendidikan adalah proses
mempersiapkan manusia untuk hidup di dunia abadi. Neo-Realisme memandang
demokrasi sebagai sesuatu yang penting
dalam kehidupan. Pendidikan merupakan transmisi warisan sosial melalui
penyesuian diri dengan fakta pengalaman menuju kesejahteraan sosial. Realisme Kritis memandang self-realization
untuk memajukan ksejahteraan umum sebagai yang terpenting dalam kehidupan,
dalam rangka menuju demokrasi.
Menurut
Experimentalisme, yang penting dalam kehidupan adalah berperilaku moral dan
tidak mengganggu kehidupan moral orang lain. Tidka ada tujuan umum pendidikan,
melainkan pertumbuhan yang diperoleh dengan belajar dari pengalaman.
Menurut
Progresivisme, yang penting dalam penyelenggaraan pendidikan adalah: (a)
kebebasan dan inisiatif anak, (b) guru
dan anak merencanakan kurikulum berdasarkan masalah yang muncul dalam
pengalaman, (c) child centered dengan
menekankan pemecahan masalah dan motovasi tumbuh berdasarkan minat anak, (d)
tidak ada tujuan akhir, tujuan pendidikan hanyalah pertumbuhan untuk
menghasilkan pertumbuhan berikutmya.
Pokok
yang penting dalam penyelenggaraan pendidikan menurut Esensialisme adalah: (a)
keteladanan pendidik untuk mengembangkan kebebasan anak, (b) kurikulum
diorganisasikan dan direncanakan oleh pendidik dalam bentuk mata pelajaran, (c)
society centered dengan menekankan
kebutuhan dan minat sosial, (d) tujuan umum pendidikan adalah meningkatkan kesejahteraan
umum.
Menurut
Tradisionalisme, pendidikan adalah proses latihan intelektual melalui
simbol-simbol. Pokok yang terpenting di antaranya: (a) disiplin otoritatif,
melalui disiplin, menusia dapat mengembangkan potensi dan kebebasannya, (b)
kurikulum diorganisasikan dan direncanakan dengan menekankan pada liberal arts, (c) berpusat pada latihan
berpikir, (d) tujuan pendidikan adalah memebentuk manusia cakap, baik dan hidup
abadi pada masyarakat yang berkeadilan sosial[7]
5.
Hakikat Pendidikan.
Al
Syaibany memaknai pendidikan adalah suatu proses pertumbuhan membentuk
pengalaman dan perubahan yang dikehendaki dalam tingkah laku individu dan
kelompok hanya akan berhasil melalui interaksi seseorang dengan perwujudan dan
benda sekitar serta dengan alam sekelilingnya, tempat ia hidup, benda dan
persekitaran adalah sebagian alam luas tempat insan itu sendiri dianggap
sebagai bagian dari padanya. Dari pengertian tersebut dinyatakan bahwa al
Syaibany memahami bahwa pendidikan tidak hanya dipengaruhi dari individu lain,
akan tetapi adanya interaksi dengan alam sekelilingnya dimana ia berada dan ia
menjadi bagian di dalamnya.
Menurut Ali Ashraf, bahwa pendidikan adalah
sebuah aktivitas tertentu yang memiliki maksud tertentu, yang diarahkan untuk
mengembangkan individu sepenuhnya. Berbeda pula dengan apa yang
diungkapkan oleh Ali Ashraf, bahwa dalam memaknai pendidikan bisa memerlukan
suatu pengaruh, bimbingan ataupun panduan, namun bisa juga tidak, yang
terpenting jelas adanya aktifitas tertentu dalam rangka mengembangkan individu
secara penuh.
Azyumardi Azra
menyatakan bahwa pendidikan lebih daripada sekedar pengajaran, yang dapat
dikatakan sebagai suatu proses transfer ilmu belaka, bukan transformasi nilai
dan pembentukan kepribadian dengan segala aspek yang dicakupnya. Jelas
bahwa apa yang dinyatakan Azra, pengajaran lebih berorientasi pada pembentukan
tukang-tukang atau para spesialis yang terkurung dalam ruang spesialisasinya
yang sempit, karena itu perhatian dan minatnya pun lebih bersifat teknis.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Pendidikan
luar sekolah yang dilembagakan (non formal) adalah semua bentuk pendidikan yang
diselenggarakan dengan sengaja, tertib, terarah, dan berencana di luar kegiatan
persekolahan. Dalam hal ini, tenaga, pengajar, fasilitas, cara penyampaian, dan
waktu yang dipakai serta komponen-komponen lainnya disesuaikan dengan keadaan
peserta atau peserta didik supaya mendapatkan hasil yang memuaskan. Filsafat dan ilmu memiliki hubungan yang
saling melengkapi satu sama lainya. Perbedaan antara kedua kegiatan manusia
itu, bukan untuk dipertentangkan, melainkan untuk saling mengisi, saling
melengkapi, karena pada hakikatnya, perbedaan itu terjadi disebabkan cara
pendekatan yang berbeda.
Pendidikan informal (pendidikan luar sekolah yang tidak dilembagakan)
adalah proses pendidikan yang diperoleh seseorang dari pengalaman sehari-hari
dengan sadar atau tidak sadar. Pada umumnya tidak teratur dan tidak sistematis
sejak seorang lahir sampai mati, seperti dalam keluarga, tetangga, pekerjaan,
hiburan, pasar, atau dalam pergaulan sehari-hari.
Akhirnya dapat disimpulkan
bahwa pelaksanaan pendidikan dimulai dari persiapan pendidikan (sebelum anak
lahir), kemudian dilakukan pendidikan informal dalam keluarga (setelah anak
lahir) oleh orang tua, pada masanya anak memasuki pendidikan formal di sekolah
dan selebihnya kegiatan pendidikan berjalan di luar keluarga dan sekolah yaitu
dalam masyarakat, sehingga dengan demikian mengingatkan kita bahwa pada dasarnya
manusia itu hendaknya memperoleh pendidikan selama hidupnya. Inilah
yaitu mungkin dikenal dengan asas baru dalam dunia pendidikan sebagai
“Pendidikan Seumur Hidup” (life long education) yang di negara Canada dikenal
dengan “Life Long Learning” dan di Amerika dikenal dengan “Continuing
Education”.
DAFTAR PUSTAKA
Komar
Oong. 2006. Filsafat Pendidikan Nonformal,
Pustaka Setia: Bandung.
Marzuki Saleh. 2010.
Pendidikan Nonformal, Pt Remaja
Rosdakarya: Bandung
Ali Hamdani. Filsafat Pendidikan, Kota Kembang:
Yogyakarta.
Joesef Soelaiman. 1992. Konsep Dasar Pendidikan Luar
Sekolah, PT Bumi Aksara: Jakarta.
Nawawi Hadari. 1993. Pendidikan Dalam Islam, Al-Ikhlas: Surabaya.
http://afdhalilahi.blogspot.com/2013/03/filsafat-pendidikan-islam_4467.html
[1]
Komar Oong. Filsafat Pendidikan Nonformal (Bandung: Pustaka Setia. 2006), hal.
173-174
[2]
Marzuki Saleh. Pendidikan Nonformal (Bandung: Pt Remaja Rosdakarya. 2010), hal.
137
[3]
Ali Hamdani. Filsafat Pendidikan (Yogyakarta: Kota Kembang.), hal. 72
[4]
Joesef Soelaiman. Konsep Dasar Pendidikan
Luar Sekolah (Jakarta: PT Bumi Aksara. 1992), hal. 85-86
[5]
Nawawi Hadari. Pendidikan Dalam Islam (Surabaya:
Al-Ikhlas. 1993), hal. 185
[6]
Joesef Soelaiman. Konsep Dasar Pendidikan
Luar Sekolah (Jakarta: PT Bumi Aksara. 1992), hal. 67
[7] Komar
Oong. Filsafat Pendidikan Nonformal (Bandung:
Pustaka Setia. 2006), hal. 186-187