Kamis, 04 Juli 2013

Tinjauan Filsafat tentang Hakikat Pendidikan Informal dan Nonformal


Tinjauan Filsafat tentang Hakikat Pendidikan Informal dan Nonformal


Mata Kuliah Filsafat Pendidikan



PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2012/2013



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang

Filsafat adalah studi tentang seluruh fenomena kehidupan dan pemikiran manusia secara kritis dan dijabarkan dalam konsep mendasar. Filsafat tidak didalami dengan melakukan eksperimen-eksperimen dan percobaan-percobaan, tetapi dengan mengutarakan masalah secara persis, mencari solusi untuk itu, memberikan argumentasi dan alasan yang tepat untuk solusi tertentu. Akhir dari proses-proses itu dimasukkan ke dalam sebuah proses dialektika. Untuk studi falsafi, mutlak diperlukan logika berpikir dan logika bahasa.

Memasuki era industrialisasi dan global dengan perkembangan teknologi canggih dan arus komunikasi yang deras, diperlukan penyesuaian diri dengan cepat tanggap. Tantangan ini harus dihadapi dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia melalui pendidikan. Khusus di lingkungan industri, perkembangan ilmu dan tenologi secara dinamis dan cepat sehingga pendidikan cenderung meningkatkan produktivitas. Peningkatan keahlian dan ketrampilan merupakan alat penting dalam perkembangan industri. Untuk memeperkenalkan produk baru, banyak yang harus dipelajari, mulai cara kerja sampai penerapannya pada kondisi lingkungan. Tenaga kerja industri pun harus mampu menyesuaikan diri dan menyerap informasi baru dengan cepat serta menerapkanya secara efektif dalam proses produksi.
           
            Kondisi pendidikan luar sekolah di masyarakat pun mengalami perkembangan pesat, baik melayani kebutuhan masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman, melayani anggota  masyarakat dalam mengisi waktu senggang maupun melayani penyaluran hobi dan melayani peningkatan ketrampilan. Pendidikan luar sekolah merupakan sudut pandang dunia pendidikan yang dapat dijadikan terobosan untuk untuk memecahkan masalah keresahan manusia yang mendesak. Khususnya bagi bangsa yang menghadapi masalah kemiskinan, pengangguran, anggota masyarakat yang tidak sekolah dan yang putus sekolah serta menyiapkan tenaga kerja produktif. Pendidikan luar sekolah merupakan salah satu penemuan paling menentukan salah satu penemuan paling menentukan pada abad ini yang lebih hebat daripada pendidikan sekolah (Ruwiyanto W., 1994).[1]

A.    Rumusan Masalah
1.     Bagaimana konsep pendidikan non formal dan informal?
2.     Bagaimana perbedaan sistem pendidikan non formal dan informal?
3.     Bagaimanakah sistematika filsafat memandang tentang pendidikan?
4.     Bagaimanakah hakekat pendidikan menurut beberapa filsuf?



BAB II

PEMBAHASAN

1.      Pendidikan Non Formal
Pendidikan non formal menurut Philip H. Choombs ialah pendidikan luar sekolah yang dilembagakan dan istilah ini yang digunakan dalam UU Sistem Pendidikan Nasional Republik Indonesia No. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 10 ayat 1.
Pendidikan luar sekolah yang dilembagakan (non formal) adalah semua bentuk pendidikan yang diselenggarakan dengan sengaja, tertib, terarah, dan berencana di luar kegiatan persekolahan. Dalam hal ini, tenaga, pengajar, fasilitas, cara penyampaian, dan waktu yang dipakai serta komponen-komponen lainnya disesuaikan dengan keadaan peserta atau peserta didik supaya mendapatkan hasil yang memuaskan.
Bagi masyarakat Indonesia yang dipengaruhi sistem pendidikan tradisional, cara seperti ini lebih mudah dalam daya tangkap masyarakat dan mendorong rakyat untuk belajar karena keadaan ini sesuai dengan keadaan lingkungan.
Pendidikan luar sekolah yang dilembagakan bersifat fungsional dan praktis serta pendekatannya lebih fleksibel. Calon peserta didik (raw-input) pendidikan luar sekolah dilembagakan yaitu:
a.       Penduduk usia sekolah yang tidak pernah mendapat keuntungan/kesempatan memasuki sekolah.
b.      Orang dewasa yang tidak pernah bersekolah.
c.       Peserta didik yang putus sekolah (drop out), baik dari pendidikan dasar, menengah, dan pendidikan tinggi.
d.      Peserta didik yang telah lulus satu sistem pendidikan sekolah tetapi tidak melanjutkan ke tingkat yang lebih tinggi.
e.       Orang yang telah bekerja, tetapi ingin menambah keterampilan lain.
Di samping pendidikan yang fleksibel, hendaknya dapat pula digunakan pendekatan yang luas dan terintegrasi agar siapa saja dapat belajar lebih lanjut berdasarkan keterampilan pertama yang telah mereka peroleh. Serta mengisi segala kekurangan yang menghambat usaha mereka ke arah hidup yang lebih baik. Dengan kata lain, pendidikan luar sekolah yang dilembagakan dapat memperkuat pendidikan luar sekolah yang tidak dilembagakan.
Jadi, proses belajar terjadi secara terorgnisasikandi luar sistem persekolahan atau pendidikan formal, baik dilaksanakan terpisah maupun merupakan bagian penting dari suatu kegiatan yang lebih besar yang dimaksudkan untuk melayani sasaran didik tertentu dan belajarnya tertentu pula.[2]
            Pendidikan non formal pada umumnya dilaksanakan tidak dalam lingkungan fisik sekolah. Maka dari itu dapat diidentikkan dengan pendidikan luar sekolah.
Sasaran pokok pendidikan non formal adalah anggota masyarakat. Program-programnya dibuat sedemikian rupa agar bersifat luwes tetapi lugas dan tetap menarik minat para konsumen pendidikan.
Berdasarkan penelitian di lapangan, pendidikan non formal sangat dibutuhkan oleh anggota masyarakat yang belum sempat mendapat kesempatan untuk mengikuti pendidikan formal karena sudah lewat umur atau terpaksa putus sekolah karena suatu hal.
Tujuan terpenting dari pendidikan non formal adalah program-program yang ditawarkan kepada masyarakat harus sejalan dengan program-program pembangunan yang dibutuhkan oleh masyarakat banyak.
Kontrol dapat diartikan bahwa manusia itu adalah makhluk hidup yang menundukkan dan mengontrol energi alam buat melanjutkan aktivitasnya. Hidup itu bagi makhluk hidup adalah proses pembaruan diri sendiri melalui tindakannyamenegendalikan lingkungannya.[3]
Pendidikan non formal juga berarti suatu kegiatan pendidikan di luar keluarga dan di luar sekolah yang kegiatan-kegiatannya ditujukan kepada :
1.      Anak-anak yang belum pernah sekolah.
2.      Anak-anak yang meninggalkan pendidikan SD/ SLTP dan tidak meneruskan sekolah lagi (di bawah umur 18 tahun).
3.      Orang-orang dewasa (adult education)
4.      Anak-anak di bawah umur 18 tahun yang memerlukan re-edukasi.
5.      Orang-orang dewasa yang memerlukan re-edukasi.
6.      Masyarakat sebagai satu lingkungan budaya (comunity education).
Macam-macam pendidikan itu dapat dikelompokkan sebagai program kegiatan pendidikan luar sekolah yang terorganisir yaitu :
1.      Pendidikan masyarakat adalah pendidikan yang ditujukan kepada orang dewasa, termasuk pemuda di luar batas umur tertinggi kewajiban belajar, dan dilakukan di luar lingkungan dan sistem pengajaran sekolah biasa.
2.      Pendidikan kemasyarakatan adalah konfirmasi antara kedewasaan yang diwakili pendidik dan sebelum dewasaan yang diwakili oleh anak didik yang berdiri sendiri. Atau dikatakan sebagai pendidikan yang meliputi bagian pendidikan yang mempersiapkan anak-anak untuk tugasnya sebagai penghasil dan sebagai pemakai.
3.      Pendidikan rakyat adalah tindakan-tindakan pendidikan atau pengaruh yang kadang-kadang mengenai seluruh rakyat, tetapi biasanya khusus mengenai rakyat lapisan bawah.
4.      Mass Education adalah pendidikan yang diberikan ke orang dewasa di luar sekolah, yang bertujuan memberikan kecakapan baca tulis dan pengetahuan umum untuk dapat mengikuti perkembangan dan kebutuhan hidup sekelilingnya. Dalam hal ini termasuk pula latihan-latihan untuk mendidik calon pemimpin yang akan mempelopori pelaksanaan usahanya di dalam masyarakat.
5.      Adult education (pendidikan orang dewasa) adalah usaha atau kegiatan yang pada umumnya dilakukan dengan kemauan sendiri (bukan dipaksa dari atas) oleh orang dewasa, termasuk pemuda di luar batas tertinggi masa kewajiban belajar dan dilangsungkan di luar lingkungan sekolah biasa.
6.      Extention education adalah kegiatan pendidikan yang dilaksanakan di luar lingkungan sekolah biasa, diselenggarakan oleh perguruan-perguruan tinggi untuk mengimbangi hasrat masyarakat yang ingin menjadi peserta aktif dalam pergolakan jaman.
7.      Fundamental education adalah menolong masyarakat untuk mencapai kemajuan sosial ekonomi agar dengan demikian mereka dapat menduduki tempat yang layak dalam dunia modern.
Adapun syarat-syarat pendidikan Non Formal.
a.       Penidikan non formal harus jelas tujuannya.
b.      Ditinjau dari segi masyrakat, program pendidikan non formal harus menarik (appealing) baik hasil yang akan dicapai maupun cara-cara melaksanakannya.
c.       Adanya integrasi pendidikan non formal dengan program-program pembangunan dalam masyrakat.
d.      Organisasi kesenian, kursus-kursus kesenian, penataran pembinaan kesenian.
e.       Kegiatan lain-lain[4]
Sedangkan perjalanan kegiatan pendidikan non formal yang dilakukan di luar sekolah dan di luar keluarga itu berbentuk antara lain : kepanduan (pramuka), perkumpulan-perkumpulan pemuda dan pemudi, perkumpulan olah raga dan kesenian, perkumpulan-perkumpulan sementara, perkumpulan-perkumpulan perekonomian, perkumpulan-perkumpulan keagamaan dan lain sebagainya.
Di kalangan masyarakat, program-program pendidikan non formal sering dikoordinasikan dan dilaksanakan oleh dinas pendidikan masyarakat, tim penggerak pembinaan kesejahteraan keluarga (tim penggerak PKK), pada tingkat kelurahan dibina oleh para lurah/ kepala desa. Di luar itu organisasi-organisasi wanita seperti dharma wanita dalam program bakti sosial kepada masyarakat acapkali melaksanakan program-program dalam bentuk paket program pendidikan non formal.

2.      Pendidikan Informal
Pendidikan informal (pendidikan luar sekolah yang tidak dilembagakan) adalah proses pendidikan yang diperoleh seseorang dari pengalaman sehari-hari dengan sadar atau tidak sadar. Pada umumnya tidak teratur dan tidak sistematis sejak seorang lahir sampai mati, seperti dalam keluarga, tetangga, pekerjaan, hiburan, pasar, atau dalam pergaulan sehari-hari.
Walaupun demikian, pengaruhnya sangat besar dalam kehidupan seseorang karena dalam kebanyakan masyarakat pendidikan luar sekolah yang tidak dilembagakan berperan penting melalui keluarga, masyarakat, dan pengusaha.
Pendidikan dalam keluarga adalah pendidikan yang pertama dan utama bagi setiap manusia. Seseorang lebih banyak berada dalam rumah tangga dibandingkan dengan di tempat-tempat lain. Sampai umur 3 tahun, seseorang akan selalu berada di rumah tangga. Pada masa itulah diletakkan dasar-dasar kepribadian seseorang. Dalam hal ini psikiater kalau menemukan penyimpangan dari kehidupan seseorang akan mencari sebab-sebabnya pada masa kanak-kanak seseorang itu.
Orang tua dan pendidik lainnya di lingkungan keluarga tidak boleh jemu untuk menyuruh anak-anaknya menjalankan perintah atau petunjuk dan menjauhi larangan Allah SWT sampai mereka menjadi dewasa.[5]
Dalam pada itu, pendidikan informal dapat menyampaikan berbagai hal yang berhubungan dengan masalah-masalah kehidupan. Dengan kata lain dalam pendidikan dapat diberikan “ketrampilan, pengetahuan, sikap, nilai dan cara hidup kita pada umumnyaa”. Yang kesemuanya berkisar pada “way of life masyarakat”.[6]
Pendidikan informal adalah pendidikan yang diperoleh seseorang berdasarkan pengalaman dalam hidup sehari-hari dengan sadar atau tidak sadar, sejak seorang lahir sampai ke liang kubur di dalam lingkungan keluarga, masyarakat atau dalam lingkungan pekerjaan sehari-hari. Contoh pengemudi becak. Bagi pengemudi becak, jelas tidak ada pendidikan formalnya. Jika seseorang pertama kali mencoba mengemudi (mengendalikan becak), ia akan menemui kesulitan.
Kalaupun ada temannya yang baik hati, ia pun akan mengatakan lebih kurang cara memegang kemudi begini. Seterusnya sikap calon pengemudi becak itu akan berjalan sendiri menjalankan becak di satu tanah lapang atau di jalan yang lengang.
Berdasarkan naluri dan pengalaman yang didapat dari kegiatan sehari-hari, ia merasakan lebih mantab mengendalikan becak. Atas dasar ini sebenarnya abang becak tadi telah mendapat pendidikan informal dalam mengemudikan becak.
Akhirnya dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan pendidikan dimulai dari persiapan pendidikan (sebelum anak lahir), kemudian dilakukan pendidikan informal dalam keluarga (setelah anak lahir) oleh orang tua, pada masanya anak memasuki pendidikan formal di sekolah dan selebihnya kegiatan pendidikan berjalan di luar keluarga dan sekolah yaitu dalam masyarakat, sehingga dengan demikian mengingatkan kita bahwa pada dasarnya manusia itu hendaknya memperoleh pendidikan selama hidupnya. Inilah yaitu mungkin dikenal dengan asas baru dalam dunia pendidikan sebagai “Pendidikan Seumur Hidup” (life long education) yang di negara Canada dikenal dengan “Life Long Learning” dan di Amerika dikenal dengan “Continuing Education”.

3.      Sistematika Filsafat
¨  Ontologi : Bidang filsafat yang meneliti hakikat wujud/ada (on = being/ada; logos = pemikiran/ ilmu/teori).
¨  Epistemologi : Filsafat yang menyelidiki tentang sumber, syarat serta proses terjadinya pengetahuan (episteme = pengetahuan/knowledge; logos = ilmu/teori/pemikiran
¨  Aksiologi : Bidang filsafat yang menelaah tentang hakikat nilai-nilai (axios = value; logos = teori/ilmu/pemikiran)
A.    Ontologi Pendidikan Islam
Kalau kita membicarakan ilmu hakikat ini sangat luas, apakah hakikat dibalik alam nyata ini, menyelidiki hakikat dari segala sesuatu dari alam nyata yang terbatas oleh panca indera kita. Hakikat ialah realitas, realitas ialah ke-real-an, real yakni kenyataan yang sebenarnya, kenyataan yang sesungguhnya, keadaan sebenarnya sesuatu, bukanlah keadaan yang sementara atau keadaan yang menipu, bukan pula keadaan yang berubah dan bukan sesuatu yang fatamorgana. Jadi, ontologi pendidikan adalah menyelami hakikat dari pendidikan Islam, kenyataan dalam pendidikan Islam dengan segala pola organisasi yang melingkupinya.
B.     Epistimologi Pendidikan Islam
Epistemologi yang lebih jelas, diungkapkan oleh Azyumardi Azra bahwa epistemologi sebagai ilmu yang membahas tentang keaslian, pengertian, struktur, metode, dan validitas ilmu pengetahuan.
Perlu disadari bahwa selama ini ilmu pendidikan Islam belumlah didasari dengan epistemologi pendidikan Islam yang kokoh. Jika pendidikan menjadi penentu kemajuan dan kejayaan peradaban, maka pendidikan Islam harus diperkokoh dengan pondasi yang kuat. Dan pondasi yang kuat itu dapat eksis bila didasari oleh epistemologi yang mapan.
Perguruan tinggi Islam adalah pelaksanaan proses belajar-mengajar yang dapat dikategorikan dalam jenjang pendidikan tinggi, yang dipraktikkan dalam mayarakat Islam, meskipun masih dalam bentuk yang non-formal atau informal sebelum kehadiran madrasah.
C.     Aksiologi Pendidikan Islam
Aksiologi mencoba merumuskan suatu teori yang konsisten untuk perilaku etis. Ia bertanya seperti apa itu baik (what is good?). Tatkala yang baik teridentifikasi, maka memungkinkan seseorang untuk berbicara tentang moralitas, yakni memakai kata-kata atau konsep-konsep semacam “seharusnya” atau “sepatutnya” (ought/should).
Demikianlah aksiologi terdiri dari analisis tentang kepercayaan, keputusan, dan konsep-konsep moral dalam rangka menciptakan atau menemukan suatu teori nilai
Pengujian filosofis pendidikan nonformal perlu didasarkan pada faktor2 berikut:
  1. Hakikat kehidupan yg baik menjadi tujuan pendidikan nonformal.  Kehidupan yg baik itu menyangkut norma dan nilai2 kehidupan yg ideal yg harus dapat dicapai oleh manusia melalui pendidikan, khususnya pendidikan nonformal;
  2. Hakikat masyarakat itu sendiri sehubungan dengan pendidikan nonformal sebagai peroses yang terjadi di tengah-tengah masyarakat luas diluar persekolahan.  Masyarakat senantiasa berubah sesuai dengan ruang dan waktu;

Pinsip-prinsip Pendidikan Berbasis Masyarakat: (Michael W. Galbraith)
1.      Self determination (menentukan sendiri). Semua anggota masyarakat memiliki hak dan tanggung jawab untuk terlibat dalam menentukan kebutuhan masyarakat dan mengidentifikasi sumber-sumber masyarakat yang bisa digunakan untuk merumuskan kebutuhan tersebut.
2.      Self help (menolong diri sendiri) Anggota masyarakat dilayani dengan baik ketika kemampuan mereka untuk menolong dirimereka sendiri telah didorong dan dikembangkan. Mereka menjadi bagian dari solusi dan membangun kemandirian lebih baik bukan tergantung karena mereka beranggapan bahwa tanggung jawab adalah untuk kesejahteraan mereka sendiri.
3.      Leadership development (pengembangan kepemimpinan) Para pemimpin lokal harus dilatih dalam berbagai ketrampilan untukmemecahkan masalah, membuat keputusan, dan proses kelompok sebagai cara untuk menolong diri mereka sendiri secara terus-menerus dan sebagai upaya mengembangkan masyarakat.
4.      Localization (lokalisasi). Potensi terbesar untuk tingkatpartisipasi masyarakat tinggi terjadi ketika masyarakat diberikesempatan dalam pelayanan, program dan kesempatan terlibatdekat dengan kehidupan tempat masyarakat hidup.
5.      Integrated delivery of service (keterpaduan pemberian pelayanan) Adanya hubungan antaragensi di antara masyarakatdan agen-agen yang menjalankan pelayanan publik dalammemenuhi tujuan dan pelayanan publik yang lebih baik.
6.      Reduce duplication of service. Pelayanan Masyarakat seharusnyamemanfaatkan secara penuh sumber-sumber fisik, keuangan dansumber dava manusia dalam lokalitas mereka dan mengoordinirusaha mereka tanpa duplikasi pelayanan.
7.      Accept diversity (menerima perbedaan) Menghindari pemisahan masyarakat berdasarkan usia, pendapatan, kelas sosial, jeniskelamin, ras, etnis, agama atau keadaan yang menghalangipengembangan masyarakat secara menyeluruh. Ini berartipelibatan warga masyarakat perlu dilakukan seluas mungkin danmereka dosorong/dituntut untuk aktif dalam pengembangan,perencanaan dan pelaksanaan program pelayanan dan aktifitas-aktifitas kemasyarakatan.
8.      Institutional responsiveness (tanggung jawab kelembagaan) Pelayanan terhadap kebutuhan masyarakat yang berubah secaraterus-menerus adalah sebuah kewajiban dari lembaga publiksejak mereka terbentuk untuk melayani masyarakat. Lembagaharus dapat dengan cepat merespon berbagai perubahan yangterjadi dalam masyarakat agar manfaat lembaga akan terusdapat dirasakan.
9.      Lifelong learning (pembelajaran seumur hidup) Kesempatan pembelajaran formal dan informal harus tersedia bagi anggota masyarakat untuk semua umur dalam berbagai jenis latarbelakang masyarakat.

4.      Hakikat Tujuan Pendidikan dengan Tujuan Hidup menurut beberapa aliran.
Materialisme sampai saat ini belum memberikan sumbangan berarti  bagi pendidikan. Bagi Materialisme, hukum alam sebagai sesuatu yang penting tidak secara langsung berhubungan dengan objek dan tujuan pendidikan, tetapi sebagai asumsi. Psikologi behaviorisme yang berakar pada materialisme memomulerkan teori belajar Conditioning.
Idealisme memandang nilai rohani sebagai yang terpenting dalam kehidupan manusia. Nilai spiritual rohani perlu dikembangkan melalui pendidikan. Dengan penekanan pada pertumbuhan rohani akan dicapai suatu tujuan, yakni kepribadian manusia ideal.
Realisme skolastik memandang bahwa yang terpenting dalam kehidupan adalah kemuliaan manusia, bahkan mendekatkan diri dengan Tuhan. Pendidikan adalah proses mempersiapkan manusia untuk hidup di dunia abadi. Neo-Realisme memandang demokrasi sebagai sesuatu yang penting  dalam kehidupan. Pendidikan merupakan transmisi warisan sosial melalui penyesuian diri dengan fakta pengalaman menuju kesejahteraan sosial.  Realisme Kritis memandang self-realization untuk memajukan ksejahteraan umum sebagai yang terpenting dalam kehidupan, dalam rangka menuju demokrasi.
Menurut Experimentalisme, yang penting dalam kehidupan adalah berperilaku moral dan tidak mengganggu kehidupan moral orang lain. Tidka ada tujuan umum pendidikan, melainkan pertumbuhan yang diperoleh dengan belajar dari pengalaman.
Menurut Progresivisme, yang penting dalam penyelenggaraan pendidikan adalah: (a) kebebasan  dan inisiatif anak, (b) guru dan anak merencanakan kurikulum berdasarkan masalah yang muncul dalam pengalaman, (c) child centered dengan menekankan pemecahan masalah dan motovasi tumbuh berdasarkan minat anak, (d) tidak ada tujuan akhir, tujuan pendidikan hanyalah pertumbuhan untuk menghasilkan pertumbuhan berikutmya.
Pokok yang penting dalam penyelenggaraan pendidikan menurut Esensialisme adalah: (a) keteladanan pendidik untuk mengembangkan kebebasan anak, (b) kurikulum diorganisasikan dan direncanakan oleh pendidik dalam bentuk mata pelajaran, (c) society centered dengan menekankan kebutuhan dan minat sosial, (d) tujuan umum pendidikan adalah meningkatkan kesejahteraan umum.
Menurut Tradisionalisme, pendidikan adalah proses latihan intelektual melalui simbol-simbol. Pokok yang terpenting di antaranya: (a) disiplin otoritatif, melalui disiplin, menusia dapat mengembangkan potensi dan kebebasannya, (b) kurikulum diorganisasikan dan direncanakan dengan menekankan pada liberal arts, (c) berpusat pada latihan berpikir, (d) tujuan pendidikan adalah memebentuk manusia cakap, baik dan hidup abadi pada masyarakat yang berkeadilan sosial[7]
5.      Hakikat Pendidikan.
Al Syaibany memaknai pendidikan adalah suatu proses pertumbuhan membentuk pengalaman dan perubahan yang dikehendaki dalam tingkah laku individu dan kelompok hanya akan berhasil melalui interaksi seseorang dengan perwujudan dan benda sekitar serta dengan alam sekelilingnya, tempat ia hidup, benda dan persekitaran adalah sebagian alam luas tempat insan itu sendiri dianggap sebagai bagian dari padanya. Dari pengertian tersebut dinyatakan bahwa al Syaibany memahami bahwa pendidikan tidak hanya dipengaruhi dari individu lain, akan tetapi adanya interaksi dengan alam sekelilingnya dimana ia berada dan ia menjadi bagian di dalamnya.
Menurut Ali Ashraf, bahwa pendidikan adalah sebuah aktivitas tertentu yang memiliki maksud tertentu, yang diarahkan untuk mengembangkan individu sepenuhnya. Berbeda pula dengan apa yang diungkapkan oleh Ali Ashraf, bahwa dalam memaknai pendidikan bisa memerlukan suatu pengaruh, bimbingan ataupun panduan, namun bisa juga tidak, yang terpenting jelas adanya aktifitas tertentu dalam rangka mengembangkan individu secara penuh.
Azyumardi Azra menyatakan bahwa pendidikan lebih daripada sekedar pengajaran, yang dapat dikatakan sebagai suatu proses transfer ilmu belaka, bukan transformasi nilai dan pembentukan kepribadian dengan segala aspek yang dicakupnya. Jelas bahwa apa yang dinyatakan Azra, pengajaran lebih berorientasi pada pembentukan tukang-tukang atau para spesialis yang terkurung dalam ruang spesialisasinya yang sempit, karena itu perhatian dan minatnya pun lebih bersifat teknis.
BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Pendidikan luar sekolah yang dilembagakan (non formal) adalah semua bentuk pendidikan yang diselenggarakan dengan sengaja, tertib, terarah, dan berencana di luar kegiatan persekolahan. Dalam hal ini, tenaga, pengajar, fasilitas, cara penyampaian, dan waktu yang dipakai serta komponen-komponen lainnya disesuaikan dengan keadaan peserta atau peserta didik supaya mendapatkan hasil yang memuaskan. Filsafat dan ilmu memiliki hubungan yang saling melengkapi satu sama lainya. Perbedaan antara kedua kegiatan manusia itu, bukan untuk dipertentangkan, melainkan untuk saling mengisi, saling melengkapi, karena pada hakikatnya, perbedaan itu terjadi disebabkan cara pendekatan yang berbeda.
Pendidikan informal (pendidikan luar sekolah yang tidak dilembagakan) adalah proses pendidikan yang diperoleh seseorang dari pengalaman sehari-hari dengan sadar atau tidak sadar. Pada umumnya tidak teratur dan tidak sistematis sejak seorang lahir sampai mati, seperti dalam keluarga, tetangga, pekerjaan, hiburan, pasar, atau dalam pergaulan sehari-hari.
Akhirnya dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan pendidikan dimulai dari persiapan pendidikan (sebelum anak lahir), kemudian dilakukan pendidikan informal dalam keluarga (setelah anak lahir) oleh orang tua, pada masanya anak memasuki pendidikan formal di sekolah dan selebihnya kegiatan pendidikan berjalan di luar keluarga dan sekolah yaitu dalam masyarakat, sehingga dengan demikian mengingatkan kita bahwa pada dasarnya manusia itu hendaknya memperoleh pendidikan selama hidupnya. Inilah yaitu mungkin dikenal dengan asas baru dalam dunia pendidikan sebagai “Pendidikan Seumur Hidup” (life long education) yang di negara Canada dikenal dengan “Life Long Learning” dan di Amerika dikenal dengan “Continuing Education”.






DAFTAR PUSTAKA

            Komar Oong. 2006. Filsafat Pendidikan Nonformal, Pustaka Setia: Bandung.
Marzuki Saleh. 2010. Pendidikan Nonformal, Pt Remaja Rosdakarya: Bandung
Ali Hamdani. Filsafat Pendidikan, Kota Kembang: Yogyakarta.
Joesef Soelaiman. 1992. Konsep Dasar Pendidikan Luar Sekolah, PT Bumi Aksara: Jakarta.
Nawawi Hadari. 1993. Pendidikan Dalam Islam, Al-Ikhlas: Surabaya.
http://afdhalilahi.blogspot.com/2013/03/filsafat-pendidikan-islam_4467.html



[1] Komar Oong. Filsafat Pendidikan Nonformal (Bandung: Pustaka Setia. 2006), hal. 173-174
[2] Marzuki Saleh. Pendidikan Nonformal (Bandung: Pt Remaja Rosdakarya. 2010), hal. 137
[3] Ali Hamdani. Filsafat Pendidikan (Yogyakarta: Kota Kembang.), hal. 72
[4] Joesef Soelaiman. Konsep Dasar Pendidikan Luar Sekolah (Jakarta: PT Bumi Aksara. 1992), hal. 85-86
[5] Nawawi Hadari. Pendidikan Dalam Islam (Surabaya: Al-Ikhlas. 1993), hal. 185
[6] Joesef Soelaiman. Konsep Dasar Pendidikan Luar Sekolah (Jakarta: PT Bumi Aksara. 1992), hal. 67
[7] Komar Oong. Filsafat Pendidikan Nonformal (Bandung: Pustaka Setia. 2006), hal. 186-187